Jumat, 18 Agustus 2017

Ada yang Ileng Sejarah atau Sekadar Kelingan Teks Proklamasi Saat HUT RI ke-72

Foto: Romo Budi Susanto (paling kiri) saat mengisi materi Sejarah Teks Proklamasi pada Pekan Studi Nasionalisme oleh Lembaga Studi Realino, di Kampus Sanata Dharma,Yogyakarta, Kamis (17/08/2017) malam.
Di Yogyakarta, dan mungkin daerah lainnya, saat HUR RI ke-72 pada tahun 2017 kemarin, suasana berubah lengang karena libur nasional. Driver ojek online pun merasakan turunnya omset pada Kamis (17/08/2017) kemarin.


Temuan tim peserta Pekan Studi Nasionalisme (PSN) 2017 yang diadakan oleh Lembaga Studi Realino pada 16-20 Agustus 2017 menyimpulkan, hampir tidak ada obrolan penting seputar kemerdekaan di kalangan masyarakat awam, termasuk para driver ojek online. Bagi mereka, hal yang menggelisahkan di HUT RI adalah sepinya penumpang yang hingga siang pasang aplikasi hanya dapat satu penumpang.

Kata Romo Budi Susanto, pimpinan Realino, kesederhanaan tentang peringatan hari kemerdekaan itu sesederhana orang yang membaca sejarah kelahiran teks proklamasi kemerdekaan. Entah mengapa, Budi menyebut kalau kini banyak orang yang bingung membaca pentingnya perayaan HUT RI.

"Banyak yang tanya: apa sih urusannya soal kemerdekaan," ujarnya kepada 30-an peserta PSN Realino 2017, di aula Lembaga Studi Realino, kompleks Kampus Sanata Dharma, Yogyakarta, Kamis (17/08/2017) malam.

Para driver itu tidak merasa ada sesuatu yang berharga dalam HUT RI karena menurut Budi, mereka ini hanya bermemori, bukan ber-memoar. "Memoar itu dibaca untuk ileng (ingat kembali), dan selanjutnya mau apa. Ini berbeda dengan memori, yang dalam bahasa Jawa hanya kelingan (ingat saja)," jelas antropolog Sanata Dharma tersebut.

"Eling itu jeli, kalau kelingan hanya teringat, sederhana," imbuhnya. Dia pun mengulas sejarah kesederhanaan penulisan teks proklamasi yang ditulis tangan dengan tetap menyertakan corat-coret tinta di kertasnya.

Baginya, hampir tidak ada kata yang istimewa dalam teks proklamasi itu kecuali kalimat "dengan tjara seksama". Simak teks lengkapnya:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.   
Foto: teks asli naskah proklamasi tulisan Ir. Soekarno
  Anda lihat, dalam foto teks asli di atas, ada tulisan yang dicoret. Kata Budi Susanto, itu menyiratkan situasi darurat. Sebelum berbunyi "pemindahan kekuasaan" dan "diselenggarakan", teks awal pengganti kedua kata itu adalah "perebutan kekuasaan" dan "diusahakan (lalu diganti lagi) diupayakan".

"Naskah lahir dari sesuatu yang genting," jelas Romo Budi, panggilan kehormatannya. Penyertaan nama Soekarno-Hatta tanpa menyebut langsung nama negara pun, lanjutnya, juga bagian dari strategi politik sang proklamator untuk menghindari penangkapan tokoh politik lian jika ada negara lain yang tidak menerimakan deklarasi kemerdekaan atas teks Proklamasi.

Romo Budi menjelaskan pula bahwa alasan tahun peristiwa tidak ditulis 45 atau 1945 di teks Proklamasi karena hal itu bagian dari strategi diplomasi Soekarno kepada dunia internasional. Tahun itu sengaja ditulis Soekarno menggunakan angka tahun 05 untuk mengikuti tahun Jepang, penjajah terakhir yang masih bercokol. "Naskah ini adalah naskah melawan hukum internasional," beber Budi.

Upacara perayaan HUT RI akhirnya bisa dibaca secara sederhana sebagai ritual bangsa yang harus diulang-ulang untuk ileng, bukan sekadar kelingan tentang sejarah perjuangan dan pengorbanan bangsa.

Dalam narasi kesederhanaan teks Proklamasi ini, driver ojek online berpikir sederhana mengingat dia hanya kelingan. Semoga saja berlanjut ke memoar ileng sehingga tetap menyejarah walau omsetnya berubah saat liburan HUT RI demi mengingat jejak penting sejarah bangsa: Proklamasi. [dutaislam.com/ab]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda untuk menambah silaturahim.